Sabtu, 17 Mei 2014

Pakuning Jawa


Ada banyak cerita turun temurun yang berkisah tentang adanya daerah Magelang dan munculnya kembali daerah Magelang setelah letusan Gunung Merapi tahun 1006 M.   Mengapa saya katakan cerita turun-temurun, karena memang banyak masyarakat Magelang mendapatkannya dari cerita.  Walaupun ada beberapa buku yang sudah mengupasnya walaupun tidak secara detil dan mengarah langsung tentang nama daerah Magelang saat itu.
Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa.  Pakuning (pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah  atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.  
Ada cerita tentang Semar yang pernah bersemayam di Bukit Tidar. Ada yang menyangkal hal itu.  Paling tidak ada seorang tokoh yang menempati bukit Tidar, menjadi ajian pamungkas rombongan orang Rum untuk menjadikan Jawa sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam.   Atas saran tokoh tersebut (ada versi lain lagi yang mengatakan tokoh itu bukan tokoh lokal tapi Raja Rum), perlu dilakukan pengisian tumpal di tanah Jawa agar bisa ditempati.  Rombongan diberangkatkan dan setelah selama 5 tahun rombongan pendeta dan alim ulama kebatinan berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M dengan menancapkan tongkat tumbal di lima lokasi, yaitu di Barat, Timur, Utara, Selatan dan satu  menancapkan tumbal di Bukit Tidar.  Penancapan tumbal di bukit Tidar mengakibatkan gempa dan angin ribut yang menandakan kekuatan tumabl berhasil mengalahkan jin dan setan penghuni tanah Jawa.  Setelah tanah Jawa aman, baru dilakukan pengisian tanah Jawa.  Dikumpulkan orang Keling, Seilon dan Siam (tanpa orang Rum) untuk dibawa ke tanah Jawa.  Dalam perjalanannya orang Keling yang banyak sampai di Jawa(khususnya di bukit Tidar dan sekitarnya), karena yang lainnya ditugaskan membuka daerah lain di nusantara yang dilewatinya.
(sumber : Cerita Turun Temurun dan dilengkapi tulisan Soekimin, 1988, Makalah Menelusuri Nama dan Hari Lahir Kota Magelang)

Prasasti Tuk Mas



»
Prasasti Tuk Mas menceritakan lembah yang diapit dua sungai suci
yang alamnya sangat subur dan dikelilingi oleh tempat-tempat suci (gunung). Sungai suci disamakan dengan Sungai Gangga di India. Walaupun tidak secara spesifik menceritakan wilayah Magelang, namun dalam prasasti ini menceritakan kondisi alam yang ada saat itu.
Prasasti Tuk Mas (diperkirakan sekitar tahun 500 M) ditemukan di Grabag, Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Dak Awu.  Sayang tidak bisa mudah diakses lokasinya, karena berada dipuncak bukit Tuk Mas karena lokasinya sudah digunakan sebagai tempat penyaluran air (PDAM) dan tidak setiap hari bisa naik ke atas bukit.    Akan tetapi pada saat-saat tertentu bukit itu sangat ramai terutama pada musim kemarau, karena menurut sumber masyarakat setempat banyak orang yang mandi di atas bukit yang memang ada sumber mata airnya.

Prasasti poh dan mantyasih


Prasasti Poh dan Mantyasih
Prasasti Poh dan Prasasti Mantyasih terletak di sebelah Timur Sungai Progo, kota Magelang.  Prasasti Poh terletak di kampung Dumpoh, tepatnya berada di tengah makam kampung Dumpoh, yang mana dalam makam ini terdapat makam Eyang Kedu.  Sementara Prasasti Mantyasih terletak di Meteseh, sebelah Barat Karesidenan Kedu.  Lokasi ditemukannya prasasti diletakkan batu sebagai replikanya.
Prasasti Poh (905 M) terletak di Kampung Poh (sekarang Dumpoh).   Timbul Haryono,1994 dalam disertasinya banyak menceritakan tentang Prasasti Poh.  Menyebutkan tentang adanya daerah perdikan di daerah Poh daerah untuk persembahan.  Isi Prasasti Poh antara lain (….. wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C) yang artinya wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan Nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang  artinya desa poh, dusun rumasan dan dusun nyu semuanya termasuk lungguh kinawang.  Prasasti ini juga menceritakan para tetua di desa Poh, di Rumasan,  di Nyu yang mempersembahakan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Prasasti Poh (905 M) menyebutkan sekelompok seniman yang ikut hadir pada upacara penetapan sima di Poh mendapat pasek-pasek.  Mereka adalah pemain musik (penabuh) dan penari.
Atmodjo, 1988 dalam tulisannya “Sekitar Masalah Hari Jadi Magelang”, menceritakan bahwa dalam Prasasti Poh menyebutkan beberapa wanua yang ada pada jaman itu yaitu wanua Mantyasih, Galang dan Glanggang.
Prasasti Mantyasih, 907 M, menceritakan bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan (Dinas Pariwisata Magelang, 2000).
Riboet Darmosoetopo, 1998 dalam disertasinya, menceritakan bahwa terdapat jalan panjang yang melintasi desa, sawah sungai gunung atau hutan yang pada saat tertentu dilewati para pejabat desa atau pejabat lungguh yang akan menyerahkan pajak dan upeti kepada raja jalan ini juga dilewati pada pedagang yang pergi ke pasar tidak jarang mendapat gangguan baik dari becu maupun begal.  Apalagi desa kuning dilewati jalan raya menuju ke parakan.  Oleh karena itu turunlah anugrah kepada lima patih dari matyasih berupa tanah sima : kelima orang patih ini diberi tugas untuk mengamankan desa dan menjagai jalan di desa kuning dari kerusuhan.   Mantyasih terletak di tengah-tengah jalan raya yang menghubungkan antara dataran tinggi Dieng (sebagai tempat pemujaan) dengan Pranaraga yang berada di ponorogo saat ini.  Jalan raya itu menghubungkan antara Dieng-Wonosobo-Parakan-Magelang-Yogyakarta-Prambanan-Wonogiri-Pranagara.  Para patih diperintahkan untuk menjaga bangunan-bangunan suci yang ada di sekitar Mantyasih. Prasasti Mantyasih juga menyebutkan dua gunung yaitu Gunung Susundara dan Wukir Sunwing.  Selain tentang daerah perdikan juga diceritakan tentang urutan Raja-raja Mataram Kuno.

Bukit Tidar


Menurut cerita yang ada bukit Tidar pada abad pertama di jaga oleh semar tanpa adanya manusia lainnya. Saat itu Jawa masih belum berpenghuni kecuali mahluk halus.   Baru pada tahun 88 M, rombongan orang Keling menghuni bukit Tidar dan sekitarnya  setelah pemasangan tumbal di lima lokasi di Jawa salah satunya di bukit Tidar.
Seiring dengan dengan waktu bukit tidar mulai dihuni manusia walaupun sampai saat ini masih sangat sulit diketemukan data-data tentang bukit Tidar pada jaman pra kerajaan Mataram.
Baru pada babad alas Kedu Mataram Baru, bukit Tidar kembali menorehkan cerita.  diceritakan sejak Gunung Merapi meletus tahun 1006, tanah Magelang banyak tertimbun tumpahan lahar yang mengakibatkan banyaknya manusia yang mati dan menjadikan tanah Magelang ditinggalkan banyak penghuninya yang selamat dalam bencana gunung meletus.  Kawasan alas Kedu sudah banyak dihuni manusia namun sering menderita sakit karena diganggu oleh penunggunya yaitu Raja Jin bernama Sepanjang.
Pada saat babad alas terjadi pertempuran antara prajurit Mataram dengan para jin anak buah Jin Sepanjang.  Dari pertempuran itu banyak prajurit Mataram yang tewas.  Kyai Kramat, Nyai Bogem, Patih Mertoyudo dan  Raden Krincing kalah dan terbunuh.  Nama-nama itu kemudian dijadikan nama desa dan kampung yang masih ada sampai saat ini, yaitu Desa Kramat di ujung Utara kota, kampung Bogeman, Mertoyudan di sebelah selatan kota Magelang dan Krincing berada di Timur desa Kramat.
Panembahan Senopati yang melihat banyaknya prajurit yang terbunuh kemudian memerintahkan supaya Sepanjang dikepung, tidak dilawan satu-satu.  Pengepungan dilakukan dengan rapat sehingga tidak bisa lolos.  Dalam bahasa Jawa pengepungan melingkar seperti gelang (pengepungan di bukit Tidar ???) disebut Atengpung Temu gelang (berubah jadi Magelang???).  Dalam pengepungan itu Sepanjang berubah menjadi tombak.
Pada jaman kolonial Belanda, Bukit Tidar tenggelam dari cerita.  Belum ditemukan cerita yang mengisahkan tentang bukit Tidar.  Baru pada jaman Periode Perjuangan Fisik (1945-1950) , Bukit Tidar dijadikan tonggak keberhasilan pemuda setempat untuk mengukir kemenangan atas pen”duduk”an wilayah Magelang pada 25 September 1945.  Berawal dari satu hari sebelumnya terjadi peristiwa penyobekan plakat Merah Putih di Hotel Nitaka dan gagalnya kesepakatan, kemudian berlanjut pada pagi harinya pelajar bersama-sama rakyat berduyun-duyun naik ke bukit Tidar dan dilakukan upacara disertai pengibaran bendera Merah Putih di puncak Bukit Tidar.
Saat ini di bukit Tidar ada tiga makam yang dianggap sebagai tokoh awal Magelang.  Jika kita naik bukit Tidar melewati jalan bebatuan yang saat ini sudah tersedia dengan rapi, pertama kali kita akan menjumpai makam She Bakir yang menurut juru kunci merupakan tokoh yang menyebarkan Islam di tanah Magelang.  Pada singgahan kedua ada makam  Sepanjang.  Di dekat puncak bukit Tidar bisa kita temukan makam Eyang Samsu (yang menurut juru kunci Eyang Samsu adalah orang pertama yang menyebarkan agama Hindhu).  Apakah yang dimaksud eyang Samsu ini adalah Patih Amirul Samsu seperti yang diceritakan sebagai patih dari Rum).  Ada juga penyebutan nama She Ali Samsu Zein atau Maulana Ali Samsu Zein.
Jarak waktu yang bisa ditempuh dari bawah ke puncak bukit Tidar kurang lebih hanya 30 menit saja dengan kondisi berjalan santai.  Jika kita lewat jalan sebelah Timur lembah Tidar, kita bisa menjumpai dahulu juru kunci Bukit Tidar dan kalau membawa motor/mobil bisa parkir di tempat parkir yang telah disediakan.  Sejak dahulu  bukit tidar dijadikan petilasan dan banyak didatangi masyarakat lokal dan dari luar Magelang baik untuk sekedar jalan-jalan/wisata maupun wisata ziarah.
(tulisan ini dibuat berdasarkan pengamatan pribadi, dengan dilatarbelakangi oleh tulisan Soekimin, 1988 dalam “Makalah Penelusuran Nama dan Hari Lahir Kota Magelang” dan Soekimin, 1984 dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Magelang dengan Putra-Putranya” dan beberapa buku sejarah serta cerita turun-temurun)

Mengenal Nama Kawasan Pada Masa Kolonial Inggris, Belanda dan Jepang


Mengenal Nama Kawasan Pada Masa Kolonial Inggris, Belanda dan Jepang
Pada tahun 1810 Inggris menguasai  Magelang dan melanjutkan pemerintahan menggantikan pemerintah lokal (sebelumnya Magelang masuk Mataram baru).  Inggris menggunakan salah satu lokasi Kebondalem sebagai awal  kota dengan membangun Masjid dan Kadipaten di sekitar alun-alun.  Masjid di sebelah Barat alun-alun dan pada waktu-waktu berikutnya di sebelah Barat masjid, terdapatKAMPUNG KAUMAN.  Ketiganya dibangun pada tahun 1810.
Seiring dengan datangnya orang Belanda (tahun 1813 Belanda menguasai Magelang).  apalagi didukung Magelang dipilih sebagai ibu Kota Karesidenan Kedu tahun 1817, dibutuhkan pemakaman untu orang-orang Belanda khususnya.  Pemakaman Belanda yang mungkin sudah ada sejak tahun 1818 berada di dekat lembah Tidar dinamakan KAMPUNG KERKOPAN.
Pesatnya Magelang, membuat Magelang banyak didatangi baik orang-orang Belanda, Cina maupun orang-orang Arab.  Selain kantor-kantor pemerintahan juga dibangun fasilitas kota di Magelang.  Ada kamar bola, Kantor Club, Gudang Candu dan sebagainya.  Di sebelah Timur alun-alun  terdapat kawasan tempat penginapan (losmen) yang kemudian dikenal dengan nama KAMPUNG LOSMENAN, yang sekarang menjadi deretan gedung bioskop dan pusat berbelanjaan Matarahari.
Datangnya orang-orang Cina seperti dikota-kota lain juga telah membentuk kawasan yang dikenal dengan PECINAN (yang berada di sebelah Selatan Alun-Alun).
Pada tahun 1937, Thomas Karsten yang sempat singgah di Magelang merencanakan perkampungan sehat untuk orang-orang Belanda yang dikenal dengan KWARASAN, yang berada di Desa Bayeman dan di sebelah Selatan Kantor Karesidenan Kedu.
Sementara nama-nama lain yang mungkin terkait pada periode  pemerintahan Belanda, antara lain Tukangan, Keplekan, Pajeksan.
Ada cerita rakyat yang diceritakan turun temurun tentang terjadinya beberapa kampung di Magelang (kota dan kabupaten) yaitu pada saat terjadi pertempuran orang pribumi  dengan Belanda.  Pada saat itu ada orang yang tewas dan bagian tubuhnya diletakkan di beberapa tempat.  Bagian tubuhnya antara lain pusar (menjadi KAMPUNG BODONGAN di Desa Kramat) dan punggung (menjadi KAMPUNG GEGER, kabupaten Magelang).

Mengenal Desa dan Kampung Pada Periode Mataram Baru


Mengenal Desa dan Kampung Pada Periode Mataram Baru
Babad alas Kedu menjadi tonggak awal kembalinya tanah Magelang.  Terjadi pertempuran atas perebutan daerah kekuasaan  Raja Jin Sepanjang yang meliputi tanah Magelang dan Kedu dengan prajurit dari Mataram sekitar 1575.  Dari pertempuran ini terbunuh Kyai Kramat dan Nyai Bogem.  Lokasi terbunuhnya dua prajurit ini dinamai (DESA) KRAMAT dan (KAMPUNG) BOGEMAN.
Desa Kramat merupakan desa paling Utara kota Magelang sementara kampung Bogeman berada di Desa Panjang di sebelah Timur kota.
Di Desa Kramat ada nama  kampung yaitu Kampung Ringinanon yang  ada Makam Kyai Ponggol yang merupakan leluhur orang Kramat.  Apakah Kyai Kramat ada hubungannya dengan Kyai Ponggol ??? Makam Kyai Ponggol pada jaman dulu masih suka didatangi orang-orang yang berziarah.
Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja ataukebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono.  Nama-nama daerah perkebunan ini sampai saat ini masih digunakan sebagai nama desa atau kampung, yaitu :
  • kebun kopi (Botton Koppen)
  • kebun pala (Kebonpolo)
  • kebun kemiri (Kemirikerep)
  • kebun jambu (Jambon)
  • kebun bayem (Bayeman)
  • kebun karet (Karet)

Mengenal nama desa dan kampung pada periode Mataram Kuno


Mengenal nama desa dan kampung pada periode Mataram Kuno
Prasasti Poh dan Prasasti Mantyasih sedikit banyak telah menceritakan kondisi alam daerah Magelang kuno.  Ada beberapa bagian yang diterjemahkan dalam disertasi Timbul Haryono dan Riboet Dharmosoetopo yang menceritakan nama-nama wanua (desa) pada jaman itu.  Walaupun ada beberapa juga yang sebenarnya diceritakan dalam prasasti namun wilayahnya sampai sekarang belum bisa diketemukan lokasinya.
Beberapa wilayah yang bisa ditelusuri dari kedua prasasti di Magelang yaitu:
  • Mantyasih …………………………   Meteseh
  • Poh ………………………………..  Dumpoh
  • Galang/Glam ………………………  Magelang
  • Glanggang …………………………  Gelangan
  • Kerajaan …………………………..   Meteseh Krajan
  • Kejayaan (kemenangan)…………..   Meteseh Jayengan
  • Wuatan ……………………………   Botton
Sementara yang diceritakan dalam prasasti yang belum diterjemahkan lebih lanjut antara lain watak luwakan, watak kiniwang (yang terdiri dari dusun rumasan dan dusun nyu), watak knep dan anak wanua hinawnang.