August 12, 2013 by magelangkotatua - Kota Pusaka Magelang - Magelang Heritage City
Kota Magelang bukanlah ruang kehidupan masyarakat yang baru saja terbentuk. Kota Magelang bukanlah bayi yang baru lahir dan sedang belajar merangkak.
Ruang-ruang yang ada saat ini, bukanlah sim salabim yang langsung terbentuk dalam sekejap. Ada proses yang sangat menarik dibelakang terbentuknya ruang-ruang yang bisa kita lihat saat ini. Ruang yang saat ini dikenal sebagai Kota Magelang sudah dihuni oleh sekelompok masyarakat sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno atau bahkan jauh sebelumnya. Helmy dan Sutarto (2006, 2007) menjelaskan kondisi ribuan tahun yang lalu Danau Borobudur yang memperlihatkan keberadaan lembah Kota Magelang. Kondisi alam yang dibentuk oleh tujuh gunung dengan pegunungannya serta dua sungai besar selalu menginspirasi masyarakatnya untuk membentuk ruang sesuai dengan budaya mereka (Utami, 2012, 2013).
Ruang-ruang yang ada saat ini, bukanlah sim salabim yang langsung terbentuk dalam sekejap. Ada proses yang sangat menarik dibelakang terbentuknya ruang-ruang yang bisa kita lihat saat ini. Ruang yang saat ini dikenal sebagai Kota Magelang sudah dihuni oleh sekelompok masyarakat sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno atau bahkan jauh sebelumnya. Helmy dan Sutarto (2006, 2007) menjelaskan kondisi ribuan tahun yang lalu Danau Borobudur yang memperlihatkan keberadaan lembah Kota Magelang. Kondisi alam yang dibentuk oleh tujuh gunung dengan pegunungannya serta dua sungai besar selalu menginspirasi masyarakatnya untuk membentuk ruang sesuai dengan budaya mereka (Utami, 2012, 2013).
Ruang-ruang di Kota Magelang saat ini mampu menceritakan ruang-ruang pada masa lalu (Utami, 2008, 2010, 2011, 2012). Permukiman Meteseh, Jambon, Kebondalem, Kompleks Militer Rindam, Kompleks Militer KNIL, Kompleks Karesidenan, Kompleks RSJP tidak muncul begitu saja tanpa ada alasan kuat “mengapa harus di (ter) bentuk di Kota Magelang ???” Potongan puzzle ruang-ruang yang ada di Kota Magelang telah membentuk mozaik yang sangat indah dan menarik sebagai pusaka saujana (gabungan pusaka alam dan pusaka budaya).
Tak kan ada kompleks militer jika Kompleks Karesidenan tidak didirikan di Kota Magelang yang didalamnya terkandung alasan strategis dengan adanya bibit-bibit perang Diponegoro (Utami, 2001) yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa daerah ini dipilih sebagai daerah pertahanan (setelah dipindah dari Surakarta). Kompleks Karesidenan yang berada di pinggir Sungai Progo tidak bisa terlepas juga dari adanya jalur utama transportasi air pada jaman Kerajaan Mataram Kuno dengan status Mantyasih sebagai tanah perdikan (Darmosoetopo, 1988) dan sebagai pusat kegiatan (Casparis, 1950) serta sebagai gudang beras dan kebondalem pada jaman Kerajaan Demak dan Mataram Baru (Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936). Kehidupan di tepi sungai tidak terlepas dari keyakinan para pendatang akan kesucian dan keberkahan gunung, sungai, lembah gunung dan kaki gunung. Bukit Tidar, Bukit Tuk Mas, Bukit kecil Dumpoh dan bukit-bukit kecil lainnya telah membentuk ruang-ruang kehidupan masyarakat pada masa lalu (sebelum ada peristiwa Mahapralaya) yang pada akhirnya memancing untuk diruangkan kembali pada jaman kerajaan Demak dan Pengging (Kussendracht, 1841; Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936) yang diawali dengan keyakinan Bukit Tidar sebagai Paku Pulau Jawa (Lombard, 2009).
Tujuh gunung dengan dua sungainya telah menginspirasi pemerintah Belanda untuk membentuk daerah pertahanan (kompleks militer dipindahkan dari Surakarta ke Magelang), setelah sebelumnya sebagai daerah pemantau keamanan pada jaman kerajaan Mataram Kuno. Selain karena lokasinya yang relatif datar dan memanjang (berbentuk palung memanjang-Djuliati, 2000) juga karena berada di antara dua kota penting Yogyakarta dan Semarang serta merupakan lokasi yang mudah untuk mengawasi pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2001, 2010, 2013). Posisi rumah residen dan pendoponya yang menghadap ke Barat, tidak hanya karena posisi yang strategis untuk melihat pemandangan yang sangat indah, namun juga karena posisinya yang berada di lembah beberapa gunung bisa memantau pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2013). Sudut pandangan yang membebaskan untuk bisa melihat dengan jelas pada arah beberapa gunung menjadikan Kota Magelang tidak hanya sebagai kota “gudang makanan”, namun juga sebagai kota pemerintahan dan kota pertahanan (militer), dan pada akhirnya juga dibentuk sebagai kota peristirahatan. Kondisi alam yang ada telah memaksa kompleks karesidenan terbentuk di sebelah Barat kota dan tidak berada di sekeliling alun-alun atau berhadap-hadapan dengan balaikota-kadipaten (Utami, 2001) yang pada proses berikutnya telah mendukung terbentuknya kawasan militer, permukiman, sekolah, tempat ibadah, hotel dan lainnya
Alhasil setelah periode tahun 1870, daerah ini berkembang sangat pesat (Utami, 2013 dengan mengacu pada Kussendracht, 1841; Buddingh, 1859). Tanah yang subur membentuk perkebunan yang kemudian berkembang menjadi pabrik pengolahan hasil perkebunan. Banyak dibangun fasilitas pendukung kota (perkantoran, sekolah, pertokoan, hotel dan lain-lain), apalagi hal ini didukung adanya jalur transportasi kereta api Yogyakarta – Semarang melewati Kota Magelang. Kawasan Kwarasan, Bayeman dan sekitarnya yang dirancang oleh Thomas Karsten (Majalah Vooruit, 1936) semakin mendukung keberadaan Kota Magelang sebagai kota yang mempunyai pemandangan yang indah dan hawa yang sejuk. Ruang-ruang permukiman tersebut tidak terlepas dari julukan awal daerah ini sebagai kebondalem dengan tanaman khas di masing-masing tempat (kebun jambu, kemiri, bayam dll) karena kesuburan tanah sebagai lembah beberapa gunung.
Selain sebagai kota pemerintahan dan militer, sekolah, perkantoran serta fasilitas umum dibangun seiring dipilihnya Kota Magelang sebagai tempat pengolahan hasil perkebunan dan tempat peristirahatan (Utami 2012, 2013). Posisi lembah sangat menguntungkan bagi perkembangan kota Magelang sampai saat ini (Utami, 2008, 2009 dengan mengacu pada Utami, 2001). Letaknya di lembah telah membentuk sebagai daerah yang sangat strategis untuk dikembangkan sebagai pusat kegiatan yang tentu saja terkait erat dengan daerah yang relatif datar dibandingkan daerah di sekelilingnya.
Saat ini kita masih bisa menyaksikan mozaik yang menunjukkan eratnya hubungan antara alam dan manusia dalam membentuk ruang-ruang di Kota Magelang yang selalu dipengaruhi oleh pemahaman dan keyakinan terhadap setting ruang yang ada (Utami, 2013) yang bisa jadi akan selalu berubah seiring dengan budaya yang berkembang atau bahkan dari perubahan setting ruangnya.
Tak kan ada kompleks militer jika Kompleks Karesidenan tidak didirikan di Kota Magelang yang didalamnya terkandung alasan strategis dengan adanya bibit-bibit perang Diponegoro (Utami, 2001) yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa daerah ini dipilih sebagai daerah pertahanan (setelah dipindah dari Surakarta). Kompleks Karesidenan yang berada di pinggir Sungai Progo tidak bisa terlepas juga dari adanya jalur utama transportasi air pada jaman Kerajaan Mataram Kuno dengan status Mantyasih sebagai tanah perdikan (Darmosoetopo, 1988) dan sebagai pusat kegiatan (Casparis, 1950) serta sebagai gudang beras dan kebondalem pada jaman Kerajaan Demak dan Mataram Baru (Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936). Kehidupan di tepi sungai tidak terlepas dari keyakinan para pendatang akan kesucian dan keberkahan gunung, sungai, lembah gunung dan kaki gunung. Bukit Tidar, Bukit Tuk Mas, Bukit kecil Dumpoh dan bukit-bukit kecil lainnya telah membentuk ruang-ruang kehidupan masyarakat pada masa lalu (sebelum ada peristiwa Mahapralaya) yang pada akhirnya memancing untuk diruangkan kembali pada jaman kerajaan Demak dan Pengging (Kussendracht, 1841; Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936) yang diawali dengan keyakinan Bukit Tidar sebagai Paku Pulau Jawa (Lombard, 2009).
Tujuh gunung dengan dua sungainya telah menginspirasi pemerintah Belanda untuk membentuk daerah pertahanan (kompleks militer dipindahkan dari Surakarta ke Magelang), setelah sebelumnya sebagai daerah pemantau keamanan pada jaman kerajaan Mataram Kuno. Selain karena lokasinya yang relatif datar dan memanjang (berbentuk palung memanjang-Djuliati, 2000) juga karena berada di antara dua kota penting Yogyakarta dan Semarang serta merupakan lokasi yang mudah untuk mengawasi pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2001, 2010, 2013). Posisi rumah residen dan pendoponya yang menghadap ke Barat, tidak hanya karena posisi yang strategis untuk melihat pemandangan yang sangat indah, namun juga karena posisinya yang berada di lembah beberapa gunung bisa memantau pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2013). Sudut pandangan yang membebaskan untuk bisa melihat dengan jelas pada arah beberapa gunung menjadikan Kota Magelang tidak hanya sebagai kota “gudang makanan”, namun juga sebagai kota pemerintahan dan kota pertahanan (militer), dan pada akhirnya juga dibentuk sebagai kota peristirahatan. Kondisi alam yang ada telah memaksa kompleks karesidenan terbentuk di sebelah Barat kota dan tidak berada di sekeliling alun-alun atau berhadap-hadapan dengan balaikota-kadipaten (Utami, 2001) yang pada proses berikutnya telah mendukung terbentuknya kawasan militer, permukiman, sekolah, tempat ibadah, hotel dan lainnya
Alhasil setelah periode tahun 1870, daerah ini berkembang sangat pesat (Utami, 2013 dengan mengacu pada Kussendracht, 1841; Buddingh, 1859). Tanah yang subur membentuk perkebunan yang kemudian berkembang menjadi pabrik pengolahan hasil perkebunan. Banyak dibangun fasilitas pendukung kota (perkantoran, sekolah, pertokoan, hotel dan lain-lain), apalagi hal ini didukung adanya jalur transportasi kereta api Yogyakarta – Semarang melewati Kota Magelang. Kawasan Kwarasan, Bayeman dan sekitarnya yang dirancang oleh Thomas Karsten (Majalah Vooruit, 1936) semakin mendukung keberadaan Kota Magelang sebagai kota yang mempunyai pemandangan yang indah dan hawa yang sejuk. Ruang-ruang permukiman tersebut tidak terlepas dari julukan awal daerah ini sebagai kebondalem dengan tanaman khas di masing-masing tempat (kebun jambu, kemiri, bayam dll) karena kesuburan tanah sebagai lembah beberapa gunung.
Selain sebagai kota pemerintahan dan militer, sekolah, perkantoran serta fasilitas umum dibangun seiring dipilihnya Kota Magelang sebagai tempat pengolahan hasil perkebunan dan tempat peristirahatan (Utami 2012, 2013). Posisi lembah sangat menguntungkan bagi perkembangan kota Magelang sampai saat ini (Utami, 2008, 2009 dengan mengacu pada Utami, 2001). Letaknya di lembah telah membentuk sebagai daerah yang sangat strategis untuk dikembangkan sebagai pusat kegiatan yang tentu saja terkait erat dengan daerah yang relatif datar dibandingkan daerah di sekelilingnya.
Saat ini kita masih bisa menyaksikan mozaik yang menunjukkan eratnya hubungan antara alam dan manusia dalam membentuk ruang-ruang di Kota Magelang yang selalu dipengaruhi oleh pemahaman dan keyakinan terhadap setting ruang yang ada (Utami, 2013) yang bisa jadi akan selalu berubah seiring dengan budaya yang berkembang atau bahkan dari perubahan setting ruangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar