Sabtu, 17 Mei 2014

Pakuning Jawa


Ada banyak cerita turun temurun yang berkisah tentang adanya daerah Magelang dan munculnya kembali daerah Magelang setelah letusan Gunung Merapi tahun 1006 M.   Mengapa saya katakan cerita turun-temurun, karena memang banyak masyarakat Magelang mendapatkannya dari cerita.  Walaupun ada beberapa buku yang sudah mengupasnya walaupun tidak secara detil dan mengarah langsung tentang nama daerah Magelang saat itu.
Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa.  Pakuning (pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah  atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.  
Ada cerita tentang Semar yang pernah bersemayam di Bukit Tidar. Ada yang menyangkal hal itu.  Paling tidak ada seorang tokoh yang menempati bukit Tidar, menjadi ajian pamungkas rombongan orang Rum untuk menjadikan Jawa sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam.   Atas saran tokoh tersebut (ada versi lain lagi yang mengatakan tokoh itu bukan tokoh lokal tapi Raja Rum), perlu dilakukan pengisian tumpal di tanah Jawa agar bisa ditempati.  Rombongan diberangkatkan dan setelah selama 5 tahun rombongan pendeta dan alim ulama kebatinan berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M dengan menancapkan tongkat tumbal di lima lokasi, yaitu di Barat, Timur, Utara, Selatan dan satu  menancapkan tumbal di Bukit Tidar.  Penancapan tumbal di bukit Tidar mengakibatkan gempa dan angin ribut yang menandakan kekuatan tumabl berhasil mengalahkan jin dan setan penghuni tanah Jawa.  Setelah tanah Jawa aman, baru dilakukan pengisian tanah Jawa.  Dikumpulkan orang Keling, Seilon dan Siam (tanpa orang Rum) untuk dibawa ke tanah Jawa.  Dalam perjalanannya orang Keling yang banyak sampai di Jawa(khususnya di bukit Tidar dan sekitarnya), karena yang lainnya ditugaskan membuka daerah lain di nusantara yang dilewatinya.
(sumber : Cerita Turun Temurun dan dilengkapi tulisan Soekimin, 1988, Makalah Menelusuri Nama dan Hari Lahir Kota Magelang)

Prasasti Tuk Mas



»
Prasasti Tuk Mas menceritakan lembah yang diapit dua sungai suci
yang alamnya sangat subur dan dikelilingi oleh tempat-tempat suci (gunung). Sungai suci disamakan dengan Sungai Gangga di India. Walaupun tidak secara spesifik menceritakan wilayah Magelang, namun dalam prasasti ini menceritakan kondisi alam yang ada saat itu.
Prasasti Tuk Mas (diperkirakan sekitar tahun 500 M) ditemukan di Grabag, Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Dak Awu.  Sayang tidak bisa mudah diakses lokasinya, karena berada dipuncak bukit Tuk Mas karena lokasinya sudah digunakan sebagai tempat penyaluran air (PDAM) dan tidak setiap hari bisa naik ke atas bukit.    Akan tetapi pada saat-saat tertentu bukit itu sangat ramai terutama pada musim kemarau, karena menurut sumber masyarakat setempat banyak orang yang mandi di atas bukit yang memang ada sumber mata airnya.

Prasasti poh dan mantyasih


Prasasti Poh dan Mantyasih
Prasasti Poh dan Prasasti Mantyasih terletak di sebelah Timur Sungai Progo, kota Magelang.  Prasasti Poh terletak di kampung Dumpoh, tepatnya berada di tengah makam kampung Dumpoh, yang mana dalam makam ini terdapat makam Eyang Kedu.  Sementara Prasasti Mantyasih terletak di Meteseh, sebelah Barat Karesidenan Kedu.  Lokasi ditemukannya prasasti diletakkan batu sebagai replikanya.
Prasasti Poh (905 M) terletak di Kampung Poh (sekarang Dumpoh).   Timbul Haryono,1994 dalam disertasinya banyak menceritakan tentang Prasasti Poh.  Menyebutkan tentang adanya daerah perdikan di daerah Poh daerah untuk persembahan.  Isi Prasasti Poh antara lain (….. wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C) yang artinya wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan Nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang  artinya desa poh, dusun rumasan dan dusun nyu semuanya termasuk lungguh kinawang.  Prasasti ini juga menceritakan para tetua di desa Poh, di Rumasan,  di Nyu yang mempersembahakan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Prasasti Poh (905 M) menyebutkan sekelompok seniman yang ikut hadir pada upacara penetapan sima di Poh mendapat pasek-pasek.  Mereka adalah pemain musik (penabuh) dan penari.
Atmodjo, 1988 dalam tulisannya “Sekitar Masalah Hari Jadi Magelang”, menceritakan bahwa dalam Prasasti Poh menyebutkan beberapa wanua yang ada pada jaman itu yaitu wanua Mantyasih, Galang dan Glanggang.
Prasasti Mantyasih, 907 M, menceritakan bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan (Dinas Pariwisata Magelang, 2000).
Riboet Darmosoetopo, 1998 dalam disertasinya, menceritakan bahwa terdapat jalan panjang yang melintasi desa, sawah sungai gunung atau hutan yang pada saat tertentu dilewati para pejabat desa atau pejabat lungguh yang akan menyerahkan pajak dan upeti kepada raja jalan ini juga dilewati pada pedagang yang pergi ke pasar tidak jarang mendapat gangguan baik dari becu maupun begal.  Apalagi desa kuning dilewati jalan raya menuju ke parakan.  Oleh karena itu turunlah anugrah kepada lima patih dari matyasih berupa tanah sima : kelima orang patih ini diberi tugas untuk mengamankan desa dan menjagai jalan di desa kuning dari kerusuhan.   Mantyasih terletak di tengah-tengah jalan raya yang menghubungkan antara dataran tinggi Dieng (sebagai tempat pemujaan) dengan Pranaraga yang berada di ponorogo saat ini.  Jalan raya itu menghubungkan antara Dieng-Wonosobo-Parakan-Magelang-Yogyakarta-Prambanan-Wonogiri-Pranagara.  Para patih diperintahkan untuk menjaga bangunan-bangunan suci yang ada di sekitar Mantyasih. Prasasti Mantyasih juga menyebutkan dua gunung yaitu Gunung Susundara dan Wukir Sunwing.  Selain tentang daerah perdikan juga diceritakan tentang urutan Raja-raja Mataram Kuno.

Bukit Tidar


Menurut cerita yang ada bukit Tidar pada abad pertama di jaga oleh semar tanpa adanya manusia lainnya. Saat itu Jawa masih belum berpenghuni kecuali mahluk halus.   Baru pada tahun 88 M, rombongan orang Keling menghuni bukit Tidar dan sekitarnya  setelah pemasangan tumbal di lima lokasi di Jawa salah satunya di bukit Tidar.
Seiring dengan dengan waktu bukit tidar mulai dihuni manusia walaupun sampai saat ini masih sangat sulit diketemukan data-data tentang bukit Tidar pada jaman pra kerajaan Mataram.
Baru pada babad alas Kedu Mataram Baru, bukit Tidar kembali menorehkan cerita.  diceritakan sejak Gunung Merapi meletus tahun 1006, tanah Magelang banyak tertimbun tumpahan lahar yang mengakibatkan banyaknya manusia yang mati dan menjadikan tanah Magelang ditinggalkan banyak penghuninya yang selamat dalam bencana gunung meletus.  Kawasan alas Kedu sudah banyak dihuni manusia namun sering menderita sakit karena diganggu oleh penunggunya yaitu Raja Jin bernama Sepanjang.
Pada saat babad alas terjadi pertempuran antara prajurit Mataram dengan para jin anak buah Jin Sepanjang.  Dari pertempuran itu banyak prajurit Mataram yang tewas.  Kyai Kramat, Nyai Bogem, Patih Mertoyudo dan  Raden Krincing kalah dan terbunuh.  Nama-nama itu kemudian dijadikan nama desa dan kampung yang masih ada sampai saat ini, yaitu Desa Kramat di ujung Utara kota, kampung Bogeman, Mertoyudan di sebelah selatan kota Magelang dan Krincing berada di Timur desa Kramat.
Panembahan Senopati yang melihat banyaknya prajurit yang terbunuh kemudian memerintahkan supaya Sepanjang dikepung, tidak dilawan satu-satu.  Pengepungan dilakukan dengan rapat sehingga tidak bisa lolos.  Dalam bahasa Jawa pengepungan melingkar seperti gelang (pengepungan di bukit Tidar ???) disebut Atengpung Temu gelang (berubah jadi Magelang???).  Dalam pengepungan itu Sepanjang berubah menjadi tombak.
Pada jaman kolonial Belanda, Bukit Tidar tenggelam dari cerita.  Belum ditemukan cerita yang mengisahkan tentang bukit Tidar.  Baru pada jaman Periode Perjuangan Fisik (1945-1950) , Bukit Tidar dijadikan tonggak keberhasilan pemuda setempat untuk mengukir kemenangan atas pen”duduk”an wilayah Magelang pada 25 September 1945.  Berawal dari satu hari sebelumnya terjadi peristiwa penyobekan plakat Merah Putih di Hotel Nitaka dan gagalnya kesepakatan, kemudian berlanjut pada pagi harinya pelajar bersama-sama rakyat berduyun-duyun naik ke bukit Tidar dan dilakukan upacara disertai pengibaran bendera Merah Putih di puncak Bukit Tidar.
Saat ini di bukit Tidar ada tiga makam yang dianggap sebagai tokoh awal Magelang.  Jika kita naik bukit Tidar melewati jalan bebatuan yang saat ini sudah tersedia dengan rapi, pertama kali kita akan menjumpai makam She Bakir yang menurut juru kunci merupakan tokoh yang menyebarkan Islam di tanah Magelang.  Pada singgahan kedua ada makam  Sepanjang.  Di dekat puncak bukit Tidar bisa kita temukan makam Eyang Samsu (yang menurut juru kunci Eyang Samsu adalah orang pertama yang menyebarkan agama Hindhu).  Apakah yang dimaksud eyang Samsu ini adalah Patih Amirul Samsu seperti yang diceritakan sebagai patih dari Rum).  Ada juga penyebutan nama She Ali Samsu Zein atau Maulana Ali Samsu Zein.
Jarak waktu yang bisa ditempuh dari bawah ke puncak bukit Tidar kurang lebih hanya 30 menit saja dengan kondisi berjalan santai.  Jika kita lewat jalan sebelah Timur lembah Tidar, kita bisa menjumpai dahulu juru kunci Bukit Tidar dan kalau membawa motor/mobil bisa parkir di tempat parkir yang telah disediakan.  Sejak dahulu  bukit tidar dijadikan petilasan dan banyak didatangi masyarakat lokal dan dari luar Magelang baik untuk sekedar jalan-jalan/wisata maupun wisata ziarah.
(tulisan ini dibuat berdasarkan pengamatan pribadi, dengan dilatarbelakangi oleh tulisan Soekimin, 1988 dalam “Makalah Penelusuran Nama dan Hari Lahir Kota Magelang” dan Soekimin, 1984 dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Magelang dengan Putra-Putranya” dan beberapa buku sejarah serta cerita turun-temurun)

Mengenal Nama Kawasan Pada Masa Kolonial Inggris, Belanda dan Jepang


Mengenal Nama Kawasan Pada Masa Kolonial Inggris, Belanda dan Jepang
Pada tahun 1810 Inggris menguasai  Magelang dan melanjutkan pemerintahan menggantikan pemerintah lokal (sebelumnya Magelang masuk Mataram baru).  Inggris menggunakan salah satu lokasi Kebondalem sebagai awal  kota dengan membangun Masjid dan Kadipaten di sekitar alun-alun.  Masjid di sebelah Barat alun-alun dan pada waktu-waktu berikutnya di sebelah Barat masjid, terdapatKAMPUNG KAUMAN.  Ketiganya dibangun pada tahun 1810.
Seiring dengan datangnya orang Belanda (tahun 1813 Belanda menguasai Magelang).  apalagi didukung Magelang dipilih sebagai ibu Kota Karesidenan Kedu tahun 1817, dibutuhkan pemakaman untu orang-orang Belanda khususnya.  Pemakaman Belanda yang mungkin sudah ada sejak tahun 1818 berada di dekat lembah Tidar dinamakan KAMPUNG KERKOPAN.
Pesatnya Magelang, membuat Magelang banyak didatangi baik orang-orang Belanda, Cina maupun orang-orang Arab.  Selain kantor-kantor pemerintahan juga dibangun fasilitas kota di Magelang.  Ada kamar bola, Kantor Club, Gudang Candu dan sebagainya.  Di sebelah Timur alun-alun  terdapat kawasan tempat penginapan (losmen) yang kemudian dikenal dengan nama KAMPUNG LOSMENAN, yang sekarang menjadi deretan gedung bioskop dan pusat berbelanjaan Matarahari.
Datangnya orang-orang Cina seperti dikota-kota lain juga telah membentuk kawasan yang dikenal dengan PECINAN (yang berada di sebelah Selatan Alun-Alun).
Pada tahun 1937, Thomas Karsten yang sempat singgah di Magelang merencanakan perkampungan sehat untuk orang-orang Belanda yang dikenal dengan KWARASAN, yang berada di Desa Bayeman dan di sebelah Selatan Kantor Karesidenan Kedu.
Sementara nama-nama lain yang mungkin terkait pada periode  pemerintahan Belanda, antara lain Tukangan, Keplekan, Pajeksan.
Ada cerita rakyat yang diceritakan turun temurun tentang terjadinya beberapa kampung di Magelang (kota dan kabupaten) yaitu pada saat terjadi pertempuran orang pribumi  dengan Belanda.  Pada saat itu ada orang yang tewas dan bagian tubuhnya diletakkan di beberapa tempat.  Bagian tubuhnya antara lain pusar (menjadi KAMPUNG BODONGAN di Desa Kramat) dan punggung (menjadi KAMPUNG GEGER, kabupaten Magelang).

Mengenal Desa dan Kampung Pada Periode Mataram Baru


Mengenal Desa dan Kampung Pada Periode Mataram Baru
Babad alas Kedu menjadi tonggak awal kembalinya tanah Magelang.  Terjadi pertempuran atas perebutan daerah kekuasaan  Raja Jin Sepanjang yang meliputi tanah Magelang dan Kedu dengan prajurit dari Mataram sekitar 1575.  Dari pertempuran ini terbunuh Kyai Kramat dan Nyai Bogem.  Lokasi terbunuhnya dua prajurit ini dinamai (DESA) KRAMAT dan (KAMPUNG) BOGEMAN.
Desa Kramat merupakan desa paling Utara kota Magelang sementara kampung Bogeman berada di Desa Panjang di sebelah Timur kota.
Di Desa Kramat ada nama  kampung yaitu Kampung Ringinanon yang  ada Makam Kyai Ponggol yang merupakan leluhur orang Kramat.  Apakah Kyai Kramat ada hubungannya dengan Kyai Ponggol ??? Makam Kyai Ponggol pada jaman dulu masih suka didatangi orang-orang yang berziarah.
Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja ataukebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono.  Nama-nama daerah perkebunan ini sampai saat ini masih digunakan sebagai nama desa atau kampung, yaitu :
  • kebun kopi (Botton Koppen)
  • kebun pala (Kebonpolo)
  • kebun kemiri (Kemirikerep)
  • kebun jambu (Jambon)
  • kebun bayem (Bayeman)
  • kebun karet (Karet)

Mengenal nama desa dan kampung pada periode Mataram Kuno


Mengenal nama desa dan kampung pada periode Mataram Kuno
Prasasti Poh dan Prasasti Mantyasih sedikit banyak telah menceritakan kondisi alam daerah Magelang kuno.  Ada beberapa bagian yang diterjemahkan dalam disertasi Timbul Haryono dan Riboet Dharmosoetopo yang menceritakan nama-nama wanua (desa) pada jaman itu.  Walaupun ada beberapa juga yang sebenarnya diceritakan dalam prasasti namun wilayahnya sampai sekarang belum bisa diketemukan lokasinya.
Beberapa wilayah yang bisa ditelusuri dari kedua prasasti di Magelang yaitu:
  • Mantyasih …………………………   Meteseh
  • Poh ………………………………..  Dumpoh
  • Galang/Glam ………………………  Magelang
  • Glanggang …………………………  Gelangan
  • Kerajaan …………………………..   Meteseh Krajan
  • Kejayaan (kemenangan)…………..   Meteseh Jayengan
  • Wuatan ……………………………   Botton
Sementara yang diceritakan dalam prasasti yang belum diterjemahkan lebih lanjut antara lain watak luwakan, watak kiniwang (yang terdiri dari dusun rumasan dan dusun nyu), watak knep dan anak wanua hinawnang.

Dua Sungai dan Tujuh Gunung


Dua Sungai dan Tujuh Gunung
Dua Sungai
Kota Magelang secara administrasi dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu sungai Progo di sebelah Barat dan Sungai Elo di sebelah Timur.  Pembatasan administrasi terjadi pada tahun 1906, pada saat wilayah apitan aliran dua sungai (Progo dan Elo)  dijadikan  wilayah kota Magelang.
Jembatan Ngembik – KulonProgo,  Cacaban – Bandungan, Canguk – Tegalrejo
Kedua sungai ini sudah diceritakan pada Prasasti Tuk Mas (Dak Awu, Grabag, Kabupaten Magelang).  Dalam  prasasti Tuk Mas (500 M) diceritakan tentang sungai suci yang disamakan dengan Sungai Gangga.
Pada masa kerajaan Mataram Kuno, sungai juga dianggap suci.  Magelang (pada saat itu belum merupakan kota, masih berupa watak/wilayah dan wanua/desa) dipilih sebagai permukiman mungkin disebabkan karena posisinya diapit dua sungai yang dianggap suci yaitu Sungai Progo (Prayaga, Islamabad) dan Sungai Elo (Erawati, Elwat, Elwa, Elo, Birma).  Dua prasasti yang ada di Magelang, Prasasti Poh, 905 M dan Prasasti Mantyasih, 907 M, terletak di pinggir Timur Sungai Progo.
Tujuh Gunung
Magelang dikelilingi oleh tujuh gunung, yaitu  Sumbing, Merapi, Sindoro, Prahu, Ungaran, Telomoyo dan Merbabu serta dapat melihat deretan Pegunungan Menoreh.   Tujuh gunung ini membuat di setiap tempat masyarakat Magelang selalu melihat adanya gunung.
Gunung yang dilihat dari barat dan timur kota
Pada saat Mataram Hindhu, Prasasti Mantyasih menceritakan tempat suci yaitu  sumwing dan susundara.  Saat Mataram baru, posisi wilayah yang dikelilingi gunung membuatnya dipilih sebagai hunian dan tempat peristirahatan sementara  lereng gunung sebagai daerah perkebunan.
Pemerintah kolonial Belanda menjadikan view sebagai pertimbangan dalam membentuk kota Magelang.  Orientasi khususnya ke sebelah barat menjadi pertimbangan apalagi didukung adanya pegunungan Menoreh yang bisa dilihat di sebelah barat kota Magelang.  Pada saat terjadi perlawanan  local (perang Diponegoro), lembah Magelang dijadikan tempat mengintai pergerakan Pangeran Diponegoro dan kaumnya.  Salah satu bangunan yang berorientasi ke barat adalah Kompleks Karesidenan Kedu yang berada di sebelah barat kota dan pendoponya menghadap ke arah pegunungan dan gunung.

Tulisan ulang Majalah “Magelang Vooruit”, November 1935 yang berjudul “Pendirian Negeri Magelang…


Tulisan ulang Majalah “Magelang Vooruit”, November 1935 yang berjudul “Pendirian Negeri Magelang…”

“Pendirian Negeri Magelang. Oleh mojang ketoeroenan Regen jang masjhoer namanja. Kota Pegoenoengan jang bagoes, sehat dan ma’moer”

Pada permoelaan tahoen 1810 oleh orang Inggris jang waktoe itoe memegang pemerintahan disini, Magelang dipilih djadi iboe negeri kaboepaten jang senama, sedang jang diangkat djadi regen ialah Mas Angabei Danoekromo. Sesoedah beberapa kedjadian jang dioeraikan dengan landjoet dalam berbagai-bagai boekoe, maka menoeroet beslit Goebernemen pada 30 Nopember 1813 Mas Angabei Danoekromo ditetapkan dalam djabatannja oleh Pemerintah Belanda bergelar Raden Toemenggoeng Danoeningrat.

Regen Magelang jang pertama

Dalam tahoen 1825 pada masa perang Diponegoro jang sebagian besar berlakoe di Kedoe, maka Regen Magelang jang pertama tewas di medan perang. Riwayat masa jang mengandoeng serba kepahitan mentjeritakan betapa pendoedoek seloeroeh afdeling Probolinggo dan afdeling Magelang di sebelah selatan memihak Pangeran Diponegoro ketika berontak melawan pemerintah Belanda. Dengan segera kaoem pemberontak menjerang iboe negeri, tetapi selaloe dapat ditolak.

Akan tetapi pada 28 hari boelan September 1825 pendjagaan di sebelah selatan Kedoe ialah Kalidjingking diserang oleh kaoem pemberontak jang terlebih banjak; maka sesoedah pertempoeran hebat mariam jang ditempatkan disana djatoeh ditangan moesoeh. Opsir jang mengepalai, Hilmer namanya, berloeka kena peloeroe, 9 orang serdadoe mati, sedang Regen Magelang Raden Toemenggoeng Danoeningrat tewas djoega sebagai korban.

Pada hari jang laloe Kalidjingking soedan diserang, tetapi oentoenglah Hilmer dengan serdadoenja dibantoe oleh regen Magelang dapat menghalau moesoeh. Tetapi pada 28 September 1825 terpaksalah Hilmer mengoendoerkan diri karena lawan jang lebih banjak; majat Regen Magelang dan 9 orang serdadoe ditinggalkan moesoeh, sedang ia sendiri berloeka parah. Ditjeritakan bahwa kepala Regen oleh moesoeh ditjeraikan oleh toeboehnja, dibawa orang kehadapan Diponegoro, kemoedian ditanamkan di Selarong, sedang toeboehnya jang ditinggalkan di medan perang kemoedian dikoeboer di desa Kaoeman Koeboer dekat Magelang. Menoeroet beslit Goebernemen pada 15 Djanoeari 1831 No 14, maka desa itoe didjadikan PERDIKAN sebagai anoegerah atas djasa almarhoem Raden Toemenggoeng Danoeningrat, sedang Regen sendiri sepeninggal beliau dianoegerahi gelaran Raden Adipati Danoeningrat I.


Jang mendirikan negeri Magelang

Alhamorhoem R.A. Danoeningrat I, jang mendirikan roemah kaboepaten dan seboeah Mesdjid, boleh dipandang sebagai jang mendirikan negeri Magelang. Doeloe roemah kaboepaten jang didirikan itoe ditempat Geredja Protestan sekarang ini letaknja, dalam daerah desa Magelang. Asal moelanya tempat itoe bernama “Kebondalem”, diperintah oleh seorang “Demang” hamba Seri Soesoehoenan.

Kebondalem artinja “Keboen radja”. Menoeroet tjerita dahoeloe kala Seri Soesoehoenan di Solo berkeboen jang loeas ditanami kopi, sajoer majoer dan boeah-boeahan. Sebagai oepeti maka Demang Kebondalem tiap-tiap boelan haroes mempersembahkan sebagain hasil keboen itoe kehadapan radja. Sebagaimana tiap-tiap pendoedoek Magelang tahoe, maka kampoeng Kebondalem itoe hingga sekarang masih tetap adanja.


Ketoeroenan Danoeningrat

Tentang ketoeroenan Regen Danoeningrat diberitakan poela, bahwa sedjak pendirian negeri Magelang dalam tahoen 1810 Kaboepaten Magelang bertoeroet-toeroet diperintahkan oleh RA Danoeningrat I; RAA Danoeningrat II; RT Danoeningrat III; RA Danoekoesoemo, masing-masing : mojang, nenek, ajah dan kakak Regen Magelang jang ke V ialah RAA Danoesoegondo, jang sedjak tahun 1908 mengepalai Kaboepaten.

Ketoeroenan regen yang termasjhoer namanja itoe banjak sekali bekerdja akan mendjadikan negeri Magelang seperti sekarang ini keadaanya; seboeah negeri pegoenoengan jang bagoes, sehat dan ma’moer.

Regen kita jang sekarang, anggota Dewan Ra’jat, jang selaloe mengandjoerkan dan memperhatikan kepentingan negeri Magelang soenggoeh-soenggoeh, sekarang ini djoega menjatakan kegiatannya pada pendirian perkoempoelan “Magelang Vooruit” dengan djalan doedoek di medja pengoeroes. Demikianlah adanja.


(ditulis ulang oleh Wahyu Utami, Juni 2011)

MAGELANG KOTA PUSAKA


Kota Magelang bukanlah ruang kehidupan masyarakat yang baru saja terbentuk. Kota Magelang bukanlah bayi yang baru lahir dan sedang belajar merangkak.
Ruang-ruang yang ada saat ini, bukanlah sim salabim yang langsung terbentuk dalam sekejap. Ada proses yang sangat menarik dibelakang terbentuknya ruang-ruang yang bisa kita lihat saat ini. Ruang yang saat ini dikenal sebagai Kota Magelang sudah dihuni oleh sekelompok masyarakat sejak jaman Kerajaan Mataram Kuno atau bahkan jauh sebelumnya. Helmy dan Sutarto (2006, 2007) menjelaskan kondisi ribuan tahun yang lalu Danau Borobudur yang memperlihatkan keberadaan lembah Kota Magelang. Kondisi alam yang dibentuk oleh tujuh gunung dengan pegunungannya serta dua sungai besar selalu menginspirasi masyarakatnya untuk membentuk ruang sesuai dengan budaya mereka (Utami, 2012, 2013).
pemadangan di sebelah Timur Alun-Alun
Pintu Gerbang Kompleks Militer Rindam
Rumah di Timur Badaan
Ruang-ruang di Kota Magelang saat ini mampu menceritakan ruang-ruang pada masa lalu (Utami, 2008, 2010, 2011, 2012). Permukiman Meteseh, Jambon, Kebondalem, Kompleks Militer Rindam, Kompleks Militer KNIL, Kompleks Karesidenan, Kompleks RSJP tidak muncul begitu saja tanpa ada alasan kuat “mengapa harus di (ter) bentuk di Kota Magelang ???” Potongan puzzle ruang-ruang yang ada di Kota Magelang telah membentuk mozaik yang sangat indah dan menarik sebagai pusaka saujana (gabungan pusaka alam dan pusaka budaya).
Tak kan ada kompleks militer jika Kompleks Karesidenan tidak didirikan di Kota Magelang yang didalamnya terkandung alasan strategis dengan adanya bibit-bibit perang Diponegoro (Utami, 2001) yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa daerah ini dipilih sebagai daerah pertahanan (setelah dipindah dari Surakarta). Kompleks Karesidenan yang berada di pinggir Sungai Progo tidak bisa terlepas juga dari adanya jalur utama transportasi air pada jaman Kerajaan Mataram Kuno dengan status Mantyasih sebagai tanah perdikan (Darmosoetopo, 1988) dan sebagai pusat kegiatan (Casparis, 1950) serta sebagai gudang beras dan kebondalem pada jaman Kerajaan Demak dan Mataram Baru (Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936). Kehidupan di tepi sungai tidak terlepas dari keyakinan para pendatang akan kesucian dan keberkahan gunung, sungai, lembah gunung dan kaki gunung. Bukit Tidar, Bukit Tuk Mas, Bukit kecil Dumpoh dan bukit-bukit kecil lainnya telah membentuk ruang-ruang kehidupan masyarakat pada masa lalu (sebelum ada peristiwa Mahapralaya) yang pada akhirnya memancing untuk diruangkan kembali pada jaman kerajaan Demak dan Pengging (Kussendracht, 1841; Nessel, 1935; Danoesoegondo, 1936) yang diawali dengan keyakinan Bukit Tidar sebagai Paku Pulau Jawa (Lombard, 2009).
Tujuh gunung dengan dua sungainya telah menginspirasi pemerintah Belanda untuk membentuk daerah pertahanan (kompleks militer dipindahkan dari Surakarta ke Magelang), setelah sebelumnya sebagai daerah pemantau keamanan pada jaman kerajaan Mataram Kuno. Selain karena lokasinya yang relatif datar dan memanjang (berbentuk palung memanjang-Djuliati, 2000) juga karena berada di antara dua kota penting Yogyakarta dan Semarang serta merupakan lokasi yang mudah untuk mengawasi pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2001, 2010, 2013). Posisi rumah residen dan pendoponya yang menghadap ke Barat, tidak hanya karena posisi yang strategis untuk melihat pemandangan yang sangat indah, namun juga karena posisinya yang berada di lembah beberapa gunung bisa memantau pergerakan masyarakat lokal (Utami, 2013). Sudut pandangan yang membebaskan untuk bisa melihat dengan jelas pada arah beberapa gunung menjadikan Kota Magelang tidak hanya sebagai kota “gudang makanan”, namun juga sebagai kota pemerintahan dan kota pertahanan (militer), dan pada akhirnya juga dibentuk sebagai kota peristirahatan. Kondisi alam yang ada telah memaksa kompleks karesidenan terbentuk di sebelah Barat kota dan tidak berada di sekeliling alun-alun atau berhadap-hadapan dengan balaikota-kadipaten (Utami, 2001) yang pada proses berikutnya telah mendukung terbentuknya kawasan militer, permukiman, sekolah, tempat ibadah, hotel dan lainnya
Alhasil setelah periode tahun 1870, daerah ini berkembang sangat pesat (Utami, 2013 dengan mengacu pada Kussendracht, 1841; Buddingh, 1859). Tanah yang subur membentuk perkebunan yang kemudian berkembang menjadi pabrik pengolahan hasil perkebunan. Banyak dibangun fasilitas pendukung kota (perkantoran, sekolah, pertokoan, hotel dan lain-lain), apalagi hal ini didukung adanya jalur transportasi kereta api Yogyakarta – Semarang melewati Kota Magelang. Kawasan Kwarasan, Bayeman dan sekitarnya yang dirancang oleh Thomas Karsten (Majalah Vooruit, 1936) semakin mendukung keberadaan Kota Magelang sebagai kota yang mempunyai pemandangan yang indah dan hawa yang sejuk. Ruang-ruang permukiman tersebut tidak terlepas dari julukan awal daerah ini sebagai kebondalem dengan tanaman khas di masing-masing tempat (kebun jambu, kemiri, bayam dll) karena kesuburan tanah sebagai lembah beberapa gunung.
Selain sebagai kota pemerintahan dan militer, sekolah, perkantoran serta fasilitas umum dibangun seiring dipilihnya Kota Magelang sebagai tempat pengolahan hasil perkebunan dan tempat peristirahatan (Utami 2012, 2013). Posisi lembah sangat menguntungkan bagi perkembangan kota Magelang sampai saat ini (Utami, 2008, 2009 dengan mengacu pada Utami, 2001). Letaknya di lembah telah membentuk sebagai daerah yang sangat strategis untuk dikembangkan sebagai pusat kegiatan yang tentu saja terkait erat dengan daerah yang relatif datar dibandingkan daerah di sekelilingnya.
Saat ini kita masih bisa menyaksikan mozaik yang menunjukkan eratnya hubungan antara alam dan manusia dalam membentuk ruang-ruang di Kota Magelang yang selalu dipengaruhi oleh pemahaman dan keyakinan terhadap setting ruang yang ada (Utami, 2013) yang bisa jadi akan selalu berubah seiring dengan budaya yang berkembang atau bahkan dari perubahan setting ruangnya.

Kwarasan, Kawasan “waras” di Magelang


Kwarasan, Kawasan “waras” di Magelang
Kawarasan atau yang saat ini kita kenal dengan Kwarasan, adalah salah satu kawasan peninggalan Hindia Belanda sebagai salah satu program perbaikan kampung pada era tahun 1936-1937. Kata kawarasan berasal dari kata “waras” yang artinya sehat. Beberapa referensi yang ada menjelaskan pada periode tahun-tahun tersebut banyak terjadi wabah penyakit yang diakibatkan kurang bersihnya beberapa kawasan yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu percontohan permukiman yang sehat yang bebas dari wabah penyakit.
View original 540 more words